87 Tahun NU mengabdi untuk Bangsa |
Sudah 87 tahun, Nahdlatul Ulama (NU) mengabdi kepada bangsa. Banyak sumbangan pemikiran maupun pelayanan masyarakat yang telah diberikan. Hanya saja sebagai organisasi Islam terbesar, ia masih sering disalahpahami. Kesalahpahaman ini berangkat dari ketidakpahaman atas basis pemikiran Islam yang melandasi hubungan NU dengan negara ini.
Kesalahpahaman ini yang membuat NU dicap sebagai oportunis yang hanya bisa melegitimasi kekuasaan yang ada. Sebuah stereotype oleh kalangan modernis terhadap kaum “Islam klasik”. Dengan sikap legitimatif ini, NU dianggap hanya ingin mendapatkan jatah kekuasaan. Dalam rangka Hari Lahir ke-87 NU, 31 Januari 2013, tulisan ini hendak menggambarkan dasar-dasar pemikiran politiknya demi pemahaman yang saling menghargai.
Realisme Religius
Sebagaimana diketahui, corak pemikiran politik NU bersifat realistik. Ia berangkat dari realitas politik yang ada, demi pemanfaatan realitas tersebut bagi tercapainya tujuan Islam. Sebuah tujuan yang merujuk pada fungsi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (kesejahteraan bagi semesta). Dalam kaitan ini, NU mendasarkan diri pada kaidah al-ghayah wa al-wasail (tujuan dan cara pencapaian). Maka, ketika kerahmatan Islam bisa ditegakkan (al-ghayah), bentuk dari negara yang menjadi cara pencapaian (al-wasilah) menjadi tidak penting lagi. Cara berpikir seperti ini merupakan kritik atas corak pemikiran kenegaraan Islam yang an sich bersifat legal-formalis. Hal ini misalnya terdapat sejak pada Imam al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Shulthaniyah yang hanya berkutat pada sarat-rukun pendirian negara dan imam.
Meskipun bersifat realis, pemikiran politik NU sejak awal berangkat dari ketakterpisahan Islam dengan politik. Artinya, NU menempatkan Islam sebagai “agama politik” sebab ia telah menetapkan kemashlahatan manusia sebagai tujuan utama syariat. Tentu politik dalam hal ini merujuk pada perwujudan kebaikan bersama (res publica), yang menempatkan negara sebagai alat bagi perwujudan tersebut. Inilah yang dimaksud oleh kaidah fiqh, tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bi al-mashlahah (keabsahan imam terdapat pada kemampuannya mensejahterakan rakyat) yang selama ini menjadi kaidah politik NU. Dengan amat bagus, Imam al-Ghazali menetapkan cara pensejahteraan ini melalui prinsip daf’u daruri ma’sumin (mencegah warga yang dilindungi dari kerusakan). Baik melalui pemenuhan kebutuhan dasar hidup maupun perlindungan atas keamanan. Cakupan perlindungan inipun tidak terbatas pada umat Islam, melainkan segenap rakyat termasuk non-muslim.
Pola pemikiran seperti ini, yang menggambarkan keteguhan memegang prinsip Islam sembari menerima tradisi baru, mencerminkan watak Islam itu sendiri yang bersifat kosmopolitan. Inilah yang menjadi makna dari kesempurnaan Islam di dalam Surat al-Maidah ayat 3. Kesempurnaan Islam terdapat pada keluasan pandangan untuk menerima dan menyerap peradaban lain. Bukan ketertutupan nilai yang mengasingkan Islam dari perkembangan zaman.
Watak kosmopolitan ini sudah dicontohkan oleh para ulama. Pada abad ke-2 H, Imam Khalil al-Farahidi telah mempertemukan tradisi Islam dengan filsafat Yunani, melalui penulisan Qamus al-‘Ain, yang merumuskan kamus bahasa Arab dalam sistematika filsafat Yunani. Watak ini juga terlihat pada keluasan pandangan para salaf al-shalih yang memiliki kekayaan tradisi keilmuan. Imam Syafi’i yang merupakan bapak ushul fiqh, ternyata juga seorang kritikus sastra (naqidul adaby), yang mengukur kemurnian bahasa Arab dari para penyair. Demikian pula Imam Abu Hanifah. Selain ahli fiqh, ia juga seorang arsitek penggali arsitektur Arabes yang terkenal di zamannya. Hal serupa pada Ibnu Qutaibah al-Dinawari, ahli hadist pengarang kitab Ikhtilaful Muhadistin yang juga seorang budayawan, penulis “Ensiklopedi para penyair” (Thabatus Syu’arak).
Segenap watak eklektik ini mencerminkan kehendak untuk memperluas wawasan keislaman, serta meluaskan tradisi Islam ke keluasaan peradaban dunia. Dengan demikian, Islam bisa memberi kemanfaatan di zamannya, melalui penjagaan atas prinsip-prinsip otentik. Dalam rangka kebangsaan, sikap eklektik-kosmopolitan ini kemudian membuahkan kesinambungan antara bangsa (nation) dan negara (state). Dengan cara ini, nasionalisme kita akhirnya bersifat etno-simbolis: perpaduan antara kultur lama dengan kebaruan sistem negara modern. Salah satu pondasi utama kultur itu adalah kebangsaan Nusantara yang dirajut oleh Islam. Inilah yang dilakukan NU sehingga pada Muktamar ke-11 (1936), ia mensahkan wilayah Hindia-Belanda (Nusantara) sebagai dar al-Islam (negeri Islam). Artinya, NU telah membentuk “nasionalisme Islam” (Islamic nationhood), karena ketika Nusantara diakui sebagai “negeri Islam”, ia wajib dibela dari penjajahan.
Oleh karena itu, segenap argumentasi politik NU selalu berbasis Islam. Misalnya, pengesahan pemerintah RI sebagai waliyyul amri al-dlaruri bi al-syaukah, berangkat dari kebutuhan adanya ulil amri demi penerapan syariat Islam. Hal serupa terjadi pada penerimaan atas Pancasila. Keselarasan antara perlindungan hak warga negara dalam Pancasila dengan perlindungan hak dasar manusia (kulliyatul khams) dalam maqashid al-syari’ah, membuahkan kewajiban penempatan Islam sebagai tujuan kemasyarakatan (social purpose) ketika bangunan masyarakat telah diatur oleh dasar negara. Dengan kata lain, ketika Pancasila menjadi “bangunan rumah”, Islam berperan sebagai “rumah tangga”. Dengan cara ini, Islam akhirnya bisa menjadi komplemen: penyempurna pembangunan, melalui keikutsertaan dalam penetapan dasar serta tujuan pembangunan. Fungsi strategis ini yang tidak dilihat orang, sebab dengan menerima Pancasila, NU bisa berperan dalam merumuskan tujuan pembangunan.
Di dalam dirinya sendiri, Pancasila juga bersifat strategis. Sebab dengan keberadaan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam sila pertama, ia telah mencegah negara ini menjadi teokrasi dan sekularisasi. Jebakan integrasi (kesatuan agama-negara) dan separasi (pemisahan agama-negara) ini dijembatani oleh Pancasila, melalui pembentukan “negara berketuhanan”.
Penutup
Pada titik inilah NU memerankan dua fungsi mendasar kekinian, di republik ini. Pertama, kekuatan penyeimbang di antara berbagai ekstrim ideologi dan politik sebagai realisasi dari prinsip tawasuth dan tawazun. Penjagaan atas “negara ketuhanan” merupakan jalan tengah antara “negara agama” dan negara sekular. Dengan cara ini NU menjadi pangayom kemajemukan bangsa berdasarkan keluasan pandangan Islam.
Kedua, demokratisasi. Dengan meletakkan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara, NU telah menggerakkan demokrasi sebagai proses, bukan demokrasi sebagai institusi. Mengapa? Karena ia tidak terjebak dalam demokrasi prosedural yang menempatkan negara sebagai tujuan politik. Melainkan demokrasi praksis-substantif yang berupaya mewujudkan nilai-nilai demokratis demi peningkatan kualitas hidup rakyat. Melalui pendasaran fiqh politik seperti ini, NU akan menjadi garda depan demokratisasi di negeri ini.
Oleh: KH. As’ad Said Ali (Wakil Ketua Umum PBNU)
Kamis, 14/02/2013 09:30
Tulisan dimuat di Harian Republika, 8 Februari 2013
sumber : NU Online
0 komentar